Tuesday, July 10, 2012

Mulailah Disconnect to Connect !

Seorang laki-laki setengah baya, dengan kemeja rapi khas orang kantoran, duduk seorang diri di sofa panjang. Ia sibuk mengetikkan sesuatu di keypad telepon genggam.

Di atas coffee table di depannya, nampak selembar kertas putih, berisi coretan khas anak-anak. Gambar sederhana sebuah rumah, pohon. Sebatang krayon masih menari-nari di atas kertas itu, menambahkan detail pada gambar yang baru setengah jadi.

Sesuatu kemudian menyentak kesadaran. Laki-laki berkemeja rapi itu menatap ke arah meja kopi, lantas mematikan handphone pintarnya yang tampak mahal, dan meletakkannya begitu saja di atas meja.

Di depannya kini, seorang gadis kecil dengan rambut dikuncir, terlihat tertawa-tawa sambil terus menggambar. Tangan mungilnya menggenggam krayon berwarna biru muda. Sementara satu set krayon warna warni berserakan di atas meja. Pandangannya berpindah-pindah, dari gambar setengah jadi ke ayahnya yang duduk di sofa di belakangnya.

Raut sang ayah seketika berubah. Dari serius –begitu seriusnya hingga ia lupa sudah berada di rumah, bukan lagi di kantor-- ke ekspresi lembut seorang bapak yang mencintai keluarganya. Anak kecil berponi dan berkuncir lucu di hadapannya. Mereka kemudian terlibat percakapan, tertawa berdua, dan kemudian si ayah mendekat, merengkuh kepala gadis kecil itu ke dalam pelukannya yang hangat.

— adegan-adegan semacam ini bukan hal yang asing buat kita.

Disconnect to Connect

Perhatikan saja. Hampir di semua tempat, jika ada empat orang duduk bersama di satu meja, bisa dipastikan, setidaknya dua di antaranya, pasti lebih banyak sibuk dengan gadget masing-masing ketimbang ngobrol dengan dua orang yang lain. Meng-update status di twitter dan facebook, mengamati apa yang terjadi di belahan lain dunia, membaca berita, membalas email masuk.

Jadi ingat, seorang kawan pernah membuat saya dan teman-teman lain merasa tak enak hati. Pada suatu malam, kami nongkrong di suatu tempat. Dan seperti biasa, sambil ngobrol, kami semua tetap khusyuk dengan smartphone masing-masing.

Kawan yang membuat kami tak enak hati ini berujar: “tau gak sih, waktu yang paling berharga adalah saat ini, detik ini. Orang yang paling berharga di dunia adalah orang-orang yang sedang bersama kita, saat ini, detik ini.”

Perlahan-lahan, merasa tersentil, kami bertiga lantas mematikan apa pun gadget yang sedang kami pegang, dan menyimpannya di tempat yang jauh dari jangkuan.

Pesan besarnya: mari luangkan lebih banyak waktu berkualitas dengan orang-orang yang kita sayangi.

Apa tanggapan Anda?

source:
kaskus.co.id/showthread.php?t=13177376
inet.detik.com